Senin, 14 Januari 2008

Indonesia Salah Teori!!!!


Apa yang menjadi cita-cita Reformasi 1998 ternyata belum sampai pada puncaknya. Di saat Indonesia yang notabenenya masih dilanda krisis ekonomi yang berkepanjangan, sepertinya sudah tidak ada jalan keluar lagi bagi Indonesia dalam hal menanggulangi permasalahan ekonomi yang sudah akut ini. Pakar-pakar ekonomi pun sudah tak mampu lagi untuk memberikan solusi, baik strategi maupun manuver demi memperbaiki pertumbuhan dan perkembangan perkonomian di Indonesia secara mikro ataupun makro.

Dalam teorinya Keynes pernah menyatakan bahwa “ Tingkat pertumbuhan perekonomian suatu negera ditentukan oleh tingkat konsumtif masyarakatnya (pertumbuhan agregate)”. Inilah mungkin yang menjadi landasan pemikiran bagi pakar-pakar ekonom sekarang mengingat Indonesia adalah penganut Kapitalisme global. Mungkin untuk negara-negara maju seperti Amerika, Jepang, dan Eropa dapat menerapkan teori yang di ungkapkan oleh Keynes tersebut, tapi bagaimana dengan Indonesia? Suatu hal yang ironis bukan, ketika sebuah negara berkembang dimana masyarakatnya masih banyak mengalami banyak kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seperti sandang, pangan, dan papan apakah itu kebutuhan primer maupun sekunder tetapi malah diinstruksikan untuk menjadi masyarakat yang konsumtif. Intinya adalah teori yang dikemukakan oleh Keynes tersebut sangat betolak belakang apabila diterapkan di Indonesia karena dalam teorinya Keynes tidak memberikan jalan keluar tentang bagaimana masyarakat khususnya masyarakat kecil mendapatkan uang. Sudah menjadi rahasia umum kita bersama bahwa Indonesia memiliki predikat yang buruk dimata dunia dilihat dari aspek ekonomi, politik, dan sosial. Tingkat kesadaran yang rendah, pola hidup yang ketergantungan dan lain sebagainya merupakan faktor utama yang menjadikan Indonesia sulit untuk bangkit dari keterpurukan.

Sedangkan Tan Malaka dalam buku MADILOGnya mengatakan bahwa “ Hidup mati sebuah negara dalam dunia kapitalisme dan imperialisme ini bergantung pada bemacam-macam hal, seperti peersenjataan dan perindustrian. Terutama senjata, letak negara,persatuan dan jumlah penduduk, semangat rakyat, kecerdasan, dsb. Kalau semua hal yang lain setara(letak negara, kecerdasan dan jumlah penduduk) maka dalam sebuah perjuangan, keadaan perindustrianlah yang akan memberi putusan. Yang kuat peindustriannya itulah itulah pihak yang mesti menang.” Ungkapan tersebut dapat disamartikan bahwa yang menentukan tingkat pertumbuhan perekonomian suatu negara adalah seberapa banyak sektor industri yang berkembang yang terdapat dalam suatu negara tersebut. Karena kita juga sadar bahwa pakaian yang kita kenakan sekarang ini diproduksi oleh industri, rumah dan kantor yang kita tempati bahan-bahannya berasal dari industri, perlengkapan seperti senjata dan alat perang yang digunakan oleh aparat negara berasal dari industri dan mungkin seluruh materi atau harta kekayaan yang kita miliki sekarang ini diolah melalui industri.

Sekelumit pengantar diatas, bisa jadi mungkin juga bisa tidak untuk dapat kita jadikan parameter ukur bagi masyarakat Indonesia bahwasanya satu hal yang harus kita sadari bersama yaitu Indonesia adalah negara berkembang, bukan negara maju sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian orang khususnya orang-orang yang perekonomiannya menengah keatas. Jadi, kedua teori diatas penulis dapat menarik kesimpulan bahwa tidak selalu pemikiran maupun teori orang-orang barat itu dapat dijadikan bahan pedoman dalam mengatur pertumbuhan perekonomian pada suatu negara tanpa melihat keadaan secara substansial yang terdapat pada negara tersebut serta tidak adanya riset atau studi kelayakan dalam bentuk tesis dan antitesis, belum tentu teori yang diciptakannya cocok dipergunakan untuk negara-negara berkembang maupun negara yang sedang berkembang.

1 komentar:

Riwayat Attubani mengatakan...

salam Kenal Tanah Sirah MERDEKA!!!MERDEKA!! FREEDOM. TERUS BERKARYA YANG TERBAIK. SEMOGA BANYAK MEMEBRI INSPIRASI JIWA REVOLUSI.